Satu rentang waktu pada awal mula, aku terluka cukup lama,Bersanding dengan lara sudah biasa,Kesendirian menjadi kawan, tak bisa dilawan hingga ku mati rasa,Rentang waktu ku kini bahagia, cukup bahagia hingga kulupa pernah tenggelam dalam lara,Namun, luka itu tak pernah sembuh.Dia menetap dan menempel bagai lintah,Ini perjuanganku, yang bahkan dengan kehadiran kalian, aku yang bahagia masih berjuang untuk diriku sendiri, untuk semua lindu disepanjang hidupku.Jangan khawatir, aku baik-baik saja,Jika aku terlihat murka, bukan karenamu, bukan karena kalian.Karena aku masih bergumul dengan si gadis kecil yang terluka dan masih mengikatku erat.Sudah kukatakan, ini perjuanganku yang mungkin tak habis pikir bagimu, tapi tidak bagi mereka yang sama sepertiku. Mereka paham.Tapi, terimakasih sudah mengkhawatirkanku, menjagaku dan memastikan, si gadis kecil baik-baik saja.Namun biarkan aku menangis dalam diam seraya memeluk bayangan ketika mereka masih bersama meski hanya fatamorgana.
---------------------
Pagi ini aku merasa bersyukur sambil memeluk erat punggung suamiku sembari berkendara motor mencari sarapan, "Terimakasih Ya Allah".
Kurasa, Allah SWT sudah cukup adil padaku. Dengan masa kecil hingga dewasaku yang cukup suram karena perceraian kedua orangtua, bergelut dengan kemandirian dan tangki cinta yang kerap kosong, kini aku bahagia.
Usiaku sudah tidak muda lagi meski jiwa kerap menyangkal jika aku masih masih muda. Tidak lucu memang terus bergelayut dengan trauma dan masa lalu, tapi rasa sepi dan sedih karena perceraian kedua orangtuaku nyatanya masih melekat kuat dan berbekas.
Bukan iri ketika melihat orang lain bahagia dengan kedua orangtua mereka, mendoakan kebahagiaan mereka dan sebagainya. Melainkan lebih ke "kok bisa?" yang tentu tak ada jawaban untuk pertanyaan ini.
Bahkan berpikir positif, memaafkan dan memaklumi mereka saja nyatanya tak cukup menyembuhkan luka tapi terkadang ampuh menghalau rasa sedih dan sepi.
Ada semacam ruang kosong yang tak bisa di isi meski kini aku bahagia dengan kedua anak-anakku dan ayahnya. Kekosongan yang aku rasakan mungkin akan selamanya menetap.
"Bagi anak perempuan, ditinggal ayahnya adalah patah hati pertamanya yang tak akan pernah bisa dilupakan hingga dewasa", kurasa quote ini benar adanya.
Jadi, jika terkadang aku mellow dan sensitif, mungkin hanya karena aku lelah. Pelukan dari kalian cukup mengisi tangki-ku dan mengobati lelah, meski dalam hati inginku berlari pada pelukan ibuku, merengek pada ayahku dan mendapat penghiburan dari mereka berdua. Hal sederhana yang tak pernah kudapatkan dari keduanya bahkan di usiaku kini.
Kemandirian dan ketegaranku bukan atas inginku tapi kewajibanku. Agar aku masih bisa bertahan dan waras. Jadi, jika terkadang aku manja, itulah aku yang sebenarnya, nyatanya aku serapuh itu.
Ironis bukan?
Kurasa inilah momen dimana aku pernah membayangkan ketika usiaku 25 tahun berujar, " Mungkin suatu hari nanti aku akan bahagia dan memaafkan mereka meski terkadang masih merasa sakit, tapi tak apa, aku masih bisa tersenyum bahagia dengan sisi rapuhku".
----------------------------------
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.
Allaahumma innii 'abduka, wabnu 'abdika, wabnu amatika, naashiyatii biyadika, maadhin fiyya hukmuka, 'adlun fiyya qodhoo-uka, as-aluka bikullismin huwalaka, sammayta bihi nafsaka, aw anzaltahu fii kitaabika, aw 'allamtahu ahadan min kholqika, awis ta' tsar ta bihi fii 'ilmil ghoibi 'indaka, an taj'alal qur-aana robbii'a qolbii, wa nuuro shodrii, wa jalaa-a huznii, wa dzahaaba hammii.
"Ya Allah, sesungguhnya aku benar-benar hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, dan anak dari hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu, segala ketentuan-Mu telah berlaku bagiku, ketetapan-Mu adil atas diriku."
"Aku memohon dengan segala nama yang telah Engkau sebutkan untuk menyebut-Mu, atau yang telah Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang telah Engkau ajarkan pada salah seorang dari makhluk-Mu, atau sengaja Engkau simpan di dalam ilmu di sisi-Mu. Agar Engkau jadikan al-Qur'an sebagai seminya hatiku, cahaya dadaku, penyirna kesedihanku dan penghilang kedukaanku."
(HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, dan Hakim)
Posting Komentar